
NEWS

Lonjakan Konsultasi Psikologis Online Akibat Tekanan Sosial Media
Lonjakan Konsultasi Psikologis Online Akibat Tekanan Sosial Media

Lonjakan Konsultasi Psikologis Online penggunaan layanan konsultasi psikologis online mengalami lonjakan signifikan, terutama sejak pandemi COVID-19 memaksa banyak layanan kesehatan beralih ke platform digital. Namun yang mengejutkan, peningkatan tersebut tidak surut usai pandemi mereda. Justru, data terbaru menunjukkan bahwa konsultasi psikologis daring terus meningkat, didorong oleh tekanan sosial yang ditimbulkan oleh media sosial.
Beberapa platform konseling online seperti Riliv, Halodoc, dan Sehat Jiwa mencatat peningkatan jumlah pengguna hingga 200% dalam kurun waktu 2021–2024. Sebagian besar pengguna merupakan individu berusia 18–35 tahun, dengan mayoritas keluhan terkait stres, kecemasan, dan krisis kepercayaan diri yang dipicu oleh ekspektasi sosial dari dunia maya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya alat komunikasi dan hiburan, tetapi juga menjadi pemicu tekanan mental yang nyata. Di balik foto-foto sempurna, pencapaian prestisius, dan gaya hidup mewah yang terpampang di linimasa, banyak pengguna merasa tertinggal atau “tidak cukup baik” jika membandingkan dirinya dengan orang lain. Hal ini berdampak pada kondisi psikologis yang akhirnya mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional.
Selain itu, kemudahan akses dan kerahasiaan dalam layanan daring menjadi alasan kuat mengapa konsultasi psikologis online begitu diminati. Dengan hanya bermodal ponsel pintar, pengguna bisa berbicara langsung dengan psikolog atau konselor tanpa perlu tatap muka, menghindari rasa malu atau stigma yang masih melekat dalam masyarakat terhadap isu kesehatan mental.
Lonjakan Konsultasi Psikologis Online ini mengindikasikan perlunya literasi digital emosional, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengelola dampak emosional dari aktivitas online. Bukan sekadar tahu cara menggunakan platform, tetapi juga menyadari dampak psikologis dari membandingkan diri dengan kehidupan digital orang lain.
Tekanan Media Sosial: Pencitraan, FOMO, Dan Self-Esteem
Tekanan Media Sosial: Pencitraan, FOMO, Dan Self-Esteem kini menjadi sumber tekanan psikologis yang besar, terutama bagi generasi muda. Salah satu tekanan terbesar datang dari fenomena pencitraan atau image crafting, di mana pengguna cenderung menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Ini menciptakan ilusi bahwa semua orang di media sosial hidup sempurna—punya karier sukses, tubuh ideal, pasangan romantis, dan kehidupan sosial yang aktif.
Efeknya, pengguna lain merasa hidupnya tidak sebanding, meski kenyataannya tidak semua yang tampak di media sosial adalah kenyataan. Hal ini mendorong munculnya perasaan minder, kecemasan, bahkan depresi. Dalam istilah psikologi, kondisi ini dikenal sebagai comparative anxiety—kecemasan akibat membandingkan diri secara terus-menerus dengan orang lain di dunia maya.
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) juga berkontribusi besar terhadap tekanan ini. FOMO merujuk pada perasaan takut tertinggal karena melihat orang lain melakukan sesuatu yang menyenangkan atau bermakna. Ketika pengguna melihat teman-temannya bepergian, berkumpul, atau meraih pencapaian tertentu, mereka merasa tidak cukup produktif atau tidak cukup bahagia. Perasaan ini bisa mengganggu pola tidur, menurunkan produktivitas, hingga merusak hubungan interpersonal.
Lebih jauh, media sosial telah menggeser standar kebahagiaan dan kesuksesan. Validasi dari jumlah “likes,” komentar positif, dan jumlah pengikut sering kali menjadi ukuran nilai diri seseorang. Ketika tidak mendapat cukup respon positif, banyak individu mulai meragukan nilai dirinya. Ini menciptakan krisis self-esteem (harga diri), yang akhirnya membuat mereka merasa tidak layak atau tidak berharga.
Banyak psikolog mencatat bahwa pasien mereka melaporkan kelelahan mental akibat “bermain peran” di media sosial. Mereka merasa harus selalu tampil bahagia, produktif, dan menarik, meskipun kenyataan hidup tidak selalu demikian. Ketidaksesuaian antara citra online dan realitas ini menciptakan konflik internal yang memicu stres berkepanjangan.
Generasi Z: Korban Utama Di Balik Layar Dari Lonjakan Konsultasi Psikologis Online
Generasi Z: Korban Utama Di Balik Layar Dari Lonjakan Konsultasi Psikologis Online adalah kelompok yang paling terpapar dan paling rentan terhadap dampak negatif media sosial. Mereka tumbuh di era di mana eksistensi digital menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas diri. Dari kecil sudah mengenal gawai, remaja dengan media sosial, dan dewasa dalam atmosfer budaya online yang kompetitif.
Studi terbaru dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pengguna layanan psikologis daring berusia di bawah 30 tahun. Dari jumlah tersebut, mayoritas mengeluhkan tekanan sosial, kecemasan akan masa depan, serta krisis identitas yang diperparah oleh konsumsi media sosial yang intensif. Mereka merasa harus memenuhi ekspektasi tertentu yang ditampilkan oleh figur-figur di media sosial—baik influencer maupun teman sebaya.
Salah satu karakteristik Gen Z adalah kesadaran mental health yang tinggi. Mereka tidak segan mencari bantuan psikologis jika merasa terganggu secara emosional. Namun ironisnya, kelompok ini pula yang paling terdampak oleh ekspektasi digital yang tidak realistis. Banyak dari mereka yang merasakan tekanan untuk menjadi “versi sempurna” dari diri mereka, mengikuti tren yang viral, hingga mengedit foto agar terlihat lebih ideal.
Selain tekanan dari luar, Gen Z juga menghadapi tekanan internal: keharusan untuk tampil autentik tapi tetap menarik di mata publik. Konflik ini menciptakan kelelahan emosional yang tidak terlihat, dan jika dibiarkan, dapat berujung pada depresi atau bahkan pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Kehadiran layanan konseling daring menjadi penyelamat bagi sebagian besar Gen Z. Mereka merasa lebih nyaman berbagi keluh kesah lewat teks atau video call ketimbang harus datang langsung ke klinik. Anonimitas dan fleksibilitas waktu menjadi nilai tambah yang membuat layanan ini begitu efektif. Namun beberapa pakar mengingatkan bahwa tanpa disertai edukasi literasi digital dan manajemen emosi, terapi hanya akan bersifat temporer.
Solusi Jangka Panjang: Literasi Digital Emosional Dan Intervensi Sosial
Solusi Jangka Panjang: Literasi Digital Emosional Dan Intervensi Sosial, khususnya generasi muda, membutuhkan pendekatan baru dalam menghadapi tantangan era digital. Salah satu solusi jangka panjang yang mulai digaungkan adalah literasi digital emosional, yakni kemampuan untuk mengelola dampak emosional akibat penggunaan teknologi dan media sosial.
Literasi ini mencakup pemahaman tentang bagaimana algoritma bekerja, bagaimana citra digital bisa menipu, serta bagaimana menjaga batasan sehat antara dunia maya dan realita. Anak-anak dan remaja perlu diajarkan sejak dini bahwa tidak semua yang dilihat di media sosial mencerminkan kenyataan. Mereka harus dibekali keterampilan untuk menyaring informasi dan mengelola perasaan yang timbul akibat interaksi digital.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas digital dapat berperan besar dalam memperkuat sistem ini. Kurikulum sekolah bisa menyisipkan pelajaran tentang etika digital dan penguatan karakter, sementara komunitas bisa menghadirkan ruang diskusi sehat tentang kesehatan mental. Pemerintah juga perlu mendorong regulasi terhadap konten-konten yang berpotensi merusak kesehatan mental pengguna muda.
Platform media sosial pun harus ikut bertanggung jawab. Fitur seperti batas waktu penggunaan, peringatan ketika konsumsi konten berlebihan, serta algoritma yang mendukung konten positif bisa menjadi langkah awal. Beberapa aplikasi bahkan telah meluncurkan fitur “Take a Break” atau “Hide Like Count” sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka.
Kesimpulannya, lonjakan konsultasi psikologis online bukan sekadar fenomena sementara. Ia merupakan cermin dari kondisi sosial yang semakin kompleks akibat interaksi digital yang intens. Butuh kerja sama berbagai pihak untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia maya dan kesehatan jiwa penggunanya. Karena di balik layar ponsel yang kita pegang setiap hari, ada kesehatan mental yang harus kita jaga dengan Lonjakan Konsultasi Psikologis Online.