
NEWS

Revenge Shopping: Belanja Besar-Besaran Pasca Krisis
Revenge Shopping: Belanja Besar-Besaran Pasca Krisis

Revenge Shopping Atau Belanja Besar-Besaran Setelah Masa Krisis Menjadi Salah Satu Fenomena Sosial-Ekonomi Yang Menarik Perhatian. Istilah ini mulai populer di Tiongkok pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 mulai mereda. Masyarakat yang sebelumnya harus menahan diri untuk berbelanja karena pembatasan dan ketidakpastian ekonomi, tiba-tiba melampiaskan hasrat konsumsinya dengan membeli berbagai barang, mulai dari fashion, gadget, hingga perhiasan mewah.
Fenomena ini kini tidak hanya terjadi di Tiongkok, tetapi juga di banyak negara, termasuk Indonesia. Mall, pusat perbelanjaan, dan e-commerce mengalami lonjakan penjualan yang signifikan begitu pembatasan dicabut.
Asal-Usul Istilah “Revenge Shopping”. Istilah ini secara harfiah berarti “balas dendam melalui belanja”. Tentu bukan balas dendam dalam arti negatif, tetapi lebih pada pelampiasan rasa frustrasi akibat keterbatasan selama masa krisis. Saat pandemi, orang tidak bisa bebas bepergian, makan di luar, atau berbelanja di toko fisik. Ketika pembatasan hilang, keinginan yang tertahan lama tersebut meledak.
Asal-usulnya sendiri berasal dari budaya konsumerisme di Tiongkok. Setelah pandemi mulai terkendali, banyak warga Tiongkok berbondong-bondong ke toko-toko mewah dan pusat perbelanjaan untuk membeli barang mahal yang sebelumnya mereka tunda. Tren ini kemudian diliput media internasional dan menyebar sebagai istilah populer.
Revenge Shopping di Indonesia. Indonesia tidak lepas dari tren ini. Data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat lonjakan penjualan ritel hingga 30% di kuartal pertama setelah pelonggaran PPKM pada 2022. Produk yang paling banyak diburu adalah pakaian, elektronik, kosmetik, dan peralatan rumah tangga.
Di Jakarta misalnya, pusat perbelanjaan seperti Grand Indonesia dan Plaza Senayan mencatat antrean panjang di beberapa brand ternama, terutama saat diskon besar. E-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada juga melaporkan peningkatan transaksi pada kategori fashion dan gadget.
Fenomena ini tidak hanya dipicu oleh keinginan untuk memiliki barang baru, tetapi juga rasa ingin merayakan “kebebasan” setelah masa penuh pembatasan.
Faktor Pendorong Revenge Shopping
Faktor Pendorong Revenge Shopping. Beberapa faktor yang membuat tren ini muncul dan terus berlanjut antara lain:
-
Penundaan Konsumsi (Consumption Postponement)
Selama masa krisis, orang menahan diri untuk tidak membeli barang-barang non-esensial. Ketika situasi membaik, semua kebutuhan yang tertunda itu dikeluarkan sekaligus. -
Euforia Pasca-Krisis
Rasa lega dan bahagia setelah melewati masa sulit membuat orang ingin merayakannya. Salah satu cara yang paling mudah diakses adalah dengan berbelanja. -
Dorongan Sosial dan Media
Media sosial memperkuat tren ini. Foto-foto unboxing, haul belanja, atau gaya hidup mewah mendorong orang untuk ikut-ikutan. -
Kebijakan Diskon dan Promosi
Peritel memanfaatkan momen ini dengan memberikan diskon besar, program cashback, dan promo buy 1 get 1 yang semakin memicu keinginan belanja.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan, recovery psikologis juga memainkan peran besar dalam fenomena revenge shopping. Setelah melalui periode penuh tekanan, ketidakpastian, dan pembatasan aktivitas, banyak orang merasakan kebutuhan untuk memulihkan rasa kontrol atas hidup mereka. Belanja menjadi salah satu cara tercepat untuk mendapatkan kepuasan instan dan rasa “hadiah” untuk diri sendiri. Fenomena ini sering dikaitkan dengan konsep retail therapy, di mana aktivitas berbelanja dapat meningkatkan mood seseorang dalam jangka pendek.
Tidak hanya itu, perkembangan teknologi dan kemudahan akses belanja online mempercepat tren ini. E-commerce, aplikasi marketplace, dan metode pembayaran digital mempermudah orang untuk melakukan pembelian kapan saja dan di mana saja.
Dampak Terhadap Ekonomi. Secara makro, revenge shopping berdampak positif pada pemulihan ekonomi. Lonjakan konsumsi mendorong perputaran uang, meningkatkan pendapatan bisnis, dan membuka lapangan kerja. Industri ritel, fashion, pariwisata, dan hiburan menjadi sektor yang paling merasakan efek positifnya.
Namun, di sisi lain, perilaku konsumsi yang berlebihan juga memiliki risiko. Jika masyarakat terlalu konsumtif tanpa perencanaan keuangan yang matang, bisa memicu masalah finansial jangka panjang, seperti utang konsumtif dan kesulitan mengatur pengeluaran.
Pro Dan Kontra Revenge Shopping
Pro Dan Kontra Revenge Shopping yaitu:
Fenomena revenge shopping memiliki dampak positif yang cukup nyata, terutama pada sektor ekonomi. Ketika masyarakat kembali berbelanja dengan antusias, perputaran uang di pasar menjadi lebih cepat. Hal ini memberikan stimulus besar bagi pelaku UMKM dan ritel, terutama yang sempat terpukul selama periode krisis. Peningkatan transaksi juga membantu industri pendukung seperti logistik, pemasaran, dan perbankan digital.
Selain itu, bagi individu, belanja setelah masa sulit sering kali memberikan rasa kebahagiaan dan semangat baru. Bagi sebagian orang, membeli barang atau menikmati layanan tertentu adalah bentuk apresiasi terhadap diri sendiri setelah melewati masa penuh tekanan. Hal ini bisa berdampak positif pada kesehatan mental dan kualitas hidup, setidaknya dalam jangka pendek.
Kontra:
Meski memberi keuntungan, revenge shopping juga memiliki sisi negatif yang perlu diwaspadai. Dorongan untuk membalas dendam pada masa-masa pembatasan bisa membuat seseorang terjebak dalam perilaku konsumtif berlebihan. Banyak yang akhirnya membeli barang di luar kebutuhan hanya demi memuaskan dorongan sesaat. Jika tidak diatur dengan baik, ini bisa berujung pada masalah keuangan jangka panjang.
Tidak hanya itu, budaya pamer di media sosial juga memperkuat efek social pressure. Unggahan tentang barang-barang mewah atau liburan mahal dapat memicu rasa minder atau iri pada orang lain, yang pada akhirnya menimbulkan tekanan sosial untuk ikut mengeluarkan uang, meski kemampuan finansial tidak mendukung.
Dengan kata lain, meskipun revenge shopping bisa menjadi pendorong ekonomi dan kebahagiaan pribadi, tetap diperlukan kesadaran finansial dan kontrol diri agar manfaatnya tidak berubah menjadi beban.
Tips Belanja Bijak Di Era Revenge Shopping
Tips Belanja Bijak Di Era Revenge Shopping yaitu:
-
Buat Anggaran Belanja yang Realistis
Jangan hanya menentukan batas maksimal pengeluaran, tetapi juga rinciannya. Misalnya, tetapkan 20% dari penghasilan bulanan untuk hiburan dan belanja non-esensial, lalu pecah lagi untuk belanja online, makan di luar, atau liburan. Dengan cara ini, Anda bisa tetap menikmati momen berbelanja tanpa mengorbankan kebutuhan pokok atau rencana tabungan. -
Bedakan Kebutuhan, Keinginan, dan Dorongan Sesaat
Sebelum membeli, coba tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya akan tetap menginginkan barang ini seminggu lagi?” Jika jawabannya tidak, kemungkinan itu hanya dorongan sesaat. Trik lain adalah menunggu 24 jam sebelum checkout keranjang belanja, untuk memastikan keputusan diambil dengan kepala dingin. -
Manfaatkan Promo dengan Cerdas dan Strategi
Promo dan diskon memang menggiurkan, tapi seringkali membuat kita membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Gunakan aplikasi pembanding harga atau cek review terlebih dahulu. Pilih promo yang benar-benar menghemat, misalnya potongan harga untuk kebutuhan rutin atau cashback yang bisa dipakai kembali untuk pembelian lain. -
Utamakan Tabungan, Investasi, dan Dana Darurat
Sebelum berbelanja, pastikan 10–20% penghasilan sudah dialokasikan untuk tabungan, 5–10% untuk investasi, dan sebagian untuk dana darurat. Dengan begitu, meskipun melakukan revenge shopping, Anda tetap memiliki perlindungan finansial. -
Tetapkan Prioritas dan Target Keuangan
Pikirkan tujuan jangka panjang seperti membeli rumah, melanjutkan pendidikan, atau mempersiapkan pensiun. Saat tujuan ini jelas, Anda akan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, karena setiap rupiah yang dihemat menjadi langkah menuju impian.
Revenge shopping adalah fenomena yang wajar muncul setelah masa sulit, sebagai bentuk pelampiasan emosi sekaligus tanda pemulihan ekonomi. Meski memberi dampak positif bagi dunia usaha, masyarakat perlu bijak agar tidak terjebak dalam perilaku konsumtif yang merugikan diri sendiri.
Kuncinya adalah keseimbangan menikmati hasil kerja keras dan kebebasan pasca-krisis, tanpa melupakan perencanaan keuangan yang sehat di tengah fenomena Revenge Shopping.